Dipuji Jadi Suami Idaman, Begini Kisah Cinta Anjasmara-Dian Nitami Yang Tak Terungkap!

Anjasmara dan Dian Nitami benar-benar tengah disoroti setelah kejadian tidak mengenakan yang menimpa Dian Nitami beberapa waktu lalu.

Bukan karena rumah tangga mereka terancam, namun karena sikap Anjasmara yang seolah jadi pahlawan terdepan bagi sang istri Dian Nitami.

Dian Nitami beberapa waktu lalu mendapat perlakuan tak enak dari warganet mengenai bentuk fisiknya.

Sponsored Ad

Tak tinggal diam, Anjasmara membawa masalah tersebut sampai ke ranah hukum.

Sebelum membawanya ke ranah hukum, Anjasmara membela istrinya habis-habisan sehingga warganet menilai bahwa Anjasmara merupakan suami idaman.

Sikap Anjasmara ini dipuji berbagai lapisan masyarakat, mulai masyarakat biasa hingga rekannya sesama selebritis.

Menilik ke belakang, rumah tangga Anjasmara dan Dian Nitami memang tergolong rumah tangga yang harmonis dan jauh dari gosip miring.

Sponsored Ad

Hampir 20 tahun berumah tangga, tak banyak yang tahu bagaimana awalnya keduanya menjalin asmara.

Bukan karena cinta pada pandangan pertama, seperti laiknya pasangan lain, Anjasmara dan Dian Nitami justru mengawali kisahnya dari perasaan benci.

Melansir dari Intisari yang mengutip dari Tabloid Nova edisi 849 Juni 2004, begini kisah cinta keduanya yang dirangkum dalam Dian Nitami 3: Benci yang Berujung Jatuh Hati.

Hingga kini, sudah 21 film layar lebar kubintangi. Terakhir tahun 1991. Saat itu aku dapat nominasi Film Festival Indonesia, sebagai pemeran utama wanita terbaik lewat Perwira Ksatria.

Sponsored Ad

Sayang, aku kalah dari Lydia Kandau. Waktu itu aku menghibur diri dengan menanamkan harapan, tahun berikutnya masih ada kesempatan. Ternyata berikutnya malah ajang itu dihapuskan karena dunia perfilman Indonesia jatuh.

Tapi aku tak patah semangat. Aku beralih ke sinetron. Hingga kini, banyak sudah sinetron yang kubintangi, mungkin sekitar 20-an. Dalam setahun, 4 - 5 sinetron kulakoni. Itu belum termasuk mini seri atau sinetron lepas.

Sponsored Ad

Tentu saja aku mendapatkan banyak pengalaman. Selain ilmu berakting, lewat dunia sinetron aku juga mendapatkan jodoh. Suatu saat, aku terlibat cinta lokasi dengan Anjasmara yang kini jadi suamiku.

Kalau ingat pengalaman yang dulu, aku selalu geli. Entah mengapa, aku sebelumnya sangat benci melihat Anjas. Dia salah satu artis yang paling enggak kusukai.

Kalau dia muncul di layar teve, aku langsung ganti channel. Pokoknya, sebal. Namun, kejadian berikutnya membuatku sadar, ada benarnya juga ungkapan yang mengatakan, batas antara cinta dan benci itu tipis.

Sponsored Ad

Kata orang Jawa, enggak boleh terlalu membenci seseorang, malah nanti suka. Ternyata, itu pula yang terjadi padaku. Aku bertemu Anjas di sinetron Senyum Bidadari.

Awalnya, aku sempat menggerutu pada produsernya. Memangnya enggak ada artis lain, sampai harus memasang Anjas? Kenapa harus dia?

Sponsored Ad

Tapi karena berusaha profesional, meski berat hati aku akhirnya setuju main dalam satu sinetron.

Hari pertama dikenalkan pada Anjas, aku bersikap dingin. Rasa sebal masih saja menghantui. Tapi karena sering main dalam satu scene, hari-hari berikutnya mau tak mau aku bicara juga padanya.

Apalagi, dalam sinetron itu diceritakan aku dan Anjas berpasangan. Setelah ngobrol dengannya, aku baru tahu, Anjas ternyata orang yang asyik diajak ngobrol. Mungkin benciku itu karena aku enggak kenal dia, ya.

Sponsored Ad

Menyusul ke Sydney

Akhirnya, kami malah jadi dekat. Bahkan, kami sering bercanda, saling memanggil dengan panggilan "Sayang" selama di lokasi syuting. Awalnya sih, tak ada maksud karena panggilan itu hanya di mulut saja.

Namun, ibarat peribahasa, kata sayang dari mulut itu turun ke hati menjadi perasaan. Lama kelamaan, aku mulai mencintainya.

Sponsored Ad

Kalau enggak ketemu, rasa kehilangan menyusup ke dalam hati. Itu sangat kurasakan saat Anjas ikut program homestay di Sydney.

Tak kuat menahan kangen, aku nekat menyusul. Padahal, kami belum pacaran, Iho. Karena enggak mau ketahuan sedang kangen, pada Anjas aku mengaku ada acara di sana. Ha ha ha...

Kebetulan, temanku yang jadi penyelenggara homestay itu. Jadi aku tahu kapan Anjas pergi dan pulang.

Apesnya, bulan Juli 1996 itu, semua penerbangan ke Sydney sedang penuh. Susah banget mencari tiket.

Sponsored Ad

Tapi aku bilang pada biro perjalanan yang kupesan, aku tak mau tahu hal itu. Pesawat apa saja boleh, yang penting aku berangkat hari itu juga.

Terserah aku mau ditempatkan di mana. Kalau perlu, di ekor pesawat pun jadi. Lalu, aku juga ngotot, pulangnya harus satu pesawat dengan Anjas. Maksa, ya?

Aku berhasil berangkat ke Sydney. Pada malam kedua, aku bisa menemui Anjas. Ah, puas rasanya bisa memandang wajahnya berlama-lama. Malam itu kami menyusuri Darling Harbour berdua.

Di tengah suasana romantis itu, tiba-tiba Anjas bertanya, maukah aku menjadi kekasihnya. Tak terperikan bahagia yang kurasakan saat itu. Setelah enam bulan sebelumnya melakukan penjajakan, sejak malam itulah kami pacaran.

Selama pacaran, hubungan kami tak pernah putus-sambung. Kami relatif cocok dan saling melengkapi. Meski Anjas lebih muda, sikapnya amat dewasa dan bijaksana.

Di keluarganya, ia anak sulung yang terbiasa ngemong adik-adiknya. Kalau aku sedang manja, Anjas tahu cara menghadapiku. la juga memperhatikanku. Misalnya, saat dia syuting sinetron College di Malaysia. Waktu itu, kami baru sebatas teman.

Sebelum berangkat, ia menanyaiku mau oleh-oleh apa. Aku minta mango puding. Pulang dari Malaysia, dari bandara Anjas langsung mengantarkannya ke lokasi syuting.

Aku amat terkesan. Saat bungkusnya kubuka, ada bungkusan lagi di dalamnya, isinya anting mungil berbentuk kucing. Wah, surprise banget. Dia membelinya saat jalan-jalan di Malaysia.

Mungkin nilainya tak seberapa, tapi maknanya besar buatku. Sampai sekarang, anting itu masih kusimpan.

Sebelum pacaran dengan Anjas, aku beberapa kali ganti pacar. Pertama kali jatuh cinta, aku berusia 15 tahun, pada salah satu model pria, Rizky Haris. Waktu itu, dia satu pemotretan denganku di Bali.

Tapi aku dianggap anak kecil, karena usianya waktu itu sudah 21 tahun. Sampai hari ini aku masih berhubungan baik dengannya.

Dia kuanggap seperti kakak, dan aku dianggap adik. Semua ini kuceritakan pada Anjas, dan Rizky pun mengenal Anjas.

Setelah tiga tahun pacaran, kami akhirnya menikah. Keinginan menikah sebetulnya muncul dari Anjas sejak tahun pertama kami pacaran, tapi kutolak karena belum siap.

Aku mau menikah setelah kuliahku selesai. Tahun 1998, setelah lulus, kutanyakan keseriusan Anjas itu. Ternyata dia memang sudah mantap.

Namun, saat kuberitahukan pada orang tuaku tentang niat kami, mereka sempat mempertanyakannya.

Aku maklum, mungkin sebagai orang tua mereka punya hal-hal yang belum dapat dimengerti. Butuh beberapa bulan untuk meyakinkan mereka.

Orang tuaku khawatir anak gadisnya dibawa pria yang lebih belia. Anjas, kan, waktu itu baru 23 tahun. Lalu, masa depan artis juga enggak jelas.

Ditambah lagi, pendidikan Anjas tidak setinggi aku. Beberapa kali Bapak bertanya, mantapkah aku memilih Anjas sebagai pasangan hidup.

"Apa kamu siap menghadapi konsekuensinya? Berani berjanji pada Bapak dan Ibu, bila menikah nanti, tidak pulang, mengeluh, karena Anjas tidak sesuai dengan harapan?" begitu tanya Bapak padaku. Aku mantap mengangguk.

Aku memang siap. Aku tahu, ucapan Bapak itu sekadar mengingatkan, ini adalah pilihanku. Aku musti ingat, pembicaraan ini pernah terjadi. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah disesali.

Pesta dibantu teman

Setelah orang tuaku yakin, Anjas menemui Bapak. Syukurlah, Anjas bisa "menaklukkan" Bapak yang sebetulnya terkenal galak. Teman-temanku pun takut pada Bapak, tapi Anjas kebal dan bisa mengambil hati.

Belakangan kuketahui, dia memang selalu disayang orang tua pacar-pacarnya dulu. Waktu ke rumah, Anjas sok akrab. Padahal Bapak hanya menjawab dengan deheman dan jawaban pendek, sambil asyik main video game.

Aku takut banget Anjas dibentak. Tapi Anjas tak jera menegur, sampai akhirnya Bapak mau menjawab dan mengobrol dengan Anjas.

Obrolan mereka bisa panjang kalau sudah membahas topik pertukangan. Anjas memang pintar mengambil hati. Kalau ada pameran yang berkaitan dengan kegemaran Bapak, Bapak langsung diajak jalan. Kalau ada pameran flora atau fauna, giliran Ibu yang diajak.

Setelah persiapan matang, aku dan Anjas menikah pada 17 Juni 1999, di Jelambar. Dua hari kemudian resepsi dilangsungkan di Jakarta Convention Center.

Tadinya, sih, aku ingin akadnya di sebuah masjid di Puncak. Sedangkan resepsinya pesta kebun ala zaman Belanda di hamparan kebun teh. Aku memakai kebaya putih, sedangkan Anjas jas dan topi putih.

Para undangan juga memakai dress code putih. Hanya saja, kami akhirnya memilih mengundang banyak orang.

Soalnya, aku bungsu, dan buat keluarga Anjas, ini pesta pernikahan pertama. Biayanya memang tak sedikit, tapi kami bersyukur dapat bantuan dari banyak teman, antara lain busana pengantin, dokumentasi, foto, bahkan untuk bulan madu ke Bali.

Ada pula yang memberi dalam bentuk uang. Setengah dari pesta yang kabarnya termasuk pesta pernikahan termegah tahun itu, adalah hadiah dari teman.

Sumber : Nakita

Kamu Mungkin Suka