Dibalik Kemudahan Pinjaman Online, Ini Dia Bahaya yang Harus Banget Kamu Tahu!

Setelah era kredit tanpa agunan (KTA) yang marak beberapa waktu silam, kini dunia pinjam meminjam diramaikan oleh peer to peer (P2P) lending.

Namanya sedikit asing, berbau-bau teknologi, tapi gampangannya ini metode peminjaman uang yang memungkinkan seseorang meminjam uang tanpa melibatkan lembaga keuangan sebagai pihak ketiga.

Jadi berbeda dengan KTA yang uang pinjaman dari lembaga keuangan, khususnya bank. Uang yang dipinjamkan dalam P2P lending ini umumnya berasal dari orang lain juga. Makanya, ada yang menyebut ini pendanaan gotong royong.

Namun, baik KTA maupun P2P lending ini menawarkan kepraktisan. Bahkan P2P lending lebih praktis lagi karena memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini.

Sama seperti kita sudah bisa membuka rekening sebuah bank tanpa perlu ke kantor cabang, karena bisa dilakukan di mana saja sepanjang ada koneksi internet, P2P lending pun mirip seperti itu.

Untuk melakukan peminjaman, kita bisa akses situs mereka, lalu isi data diri. Sebutkan jumlah uang yang akan kita pinjam. Berkas yang diperlukan tinggal diunggah saja. Lalu tunggu persetujuan. Jika disetujui, uang pinjaman akan masuk ke rekening yang sudah kita sertakan.

Di samping lewat situs mereka, beberapa penyedia pinjaman daring ini mensyaratkan peminjamnya untuk mengunduh aplikasi dari mereka. Beberapa persyaratan wajib diunggah seperti Kartu tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Meski praktis tak lantas kita lengah dan bungah karena memperoleh uang dengan mudah! Di balik kemudahan pasti ada “harga” yang mesti kita beli.

Cermati dan teliti dengan rinci setiap poin-poin perjanjian yang pasti menyertai. Seperti seorang teman yang urung meminjam lewat skema ini. Alasannya sederhana, bunga yang ditawarkan tinggi.

Setidaknya ada tiga hal yang mesti kita perhatikan agar tidak terkena masalah dengan peminjaman P2P lending ini.

Sponsored Ad

1. Jangan sampai telat bayar

Bunga tinggi memang menjadi poin yang diwanti-wantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, lembaga pengawas industri keuangan. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menilai adanya kemudahan justru membuat risiko gagal bayar (default), baik bagi peminjam maupun pemberi pinjaman.

Risiko ini yang kemudian dikonversi ke rata-rata bunga pinjaman di atas bunga kredit perbankan konvensional pada umumnya. Tak berlebihan jika kemudian muncul istilah “rentenir digital” untuk layanan ini.

“Suku bunganya itu rata-rata di atas 19 persen. Apakah itu tidak seperti rentenir yang melalui internet?” ujar Wimboh.

Akan tetapi bunga tinggi tak menyurutkan niat perusahaan untuk terjun di bisnis ini.

Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi terbit pada 28 Desember 2016, jumlah perusahaan yang menyediakan layanan P2P lending memang terus bertambah.

Dalam situs OJK, per Mei 2018 sebanyak 51 perusahaan penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (tekfin) telah resmi terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK.

Beberapa perusahaan itu antara lain PinjamWinwin, Crowdo Indonesia, KIMO, Danamas, UangTeman, Akseleran, Investree, Modalku, KlikACC, Koinworks, Pendanaan, TaniFund, Amartha, Karapoto, Dompet Kilat, Cicil, Dana Mapan, UangKita, dan lain-lain.

Perusahaan-perusahaan itu biasanya terbagi menjadi dua kategori, yakni pinjaman bisnis dan pinjaman personal. Namun ada juga yang menyasar keduanya. Biaya bunga yang dikenakan kepada peminjam dalam kategori pinjaman bisnis memang relatif lebih tinggi.

Koinworks (koinworks.com) misalnya, mereka menawarkan bunga efektif untuk peminjam sebesar 18 persen per tahun. Untuk bunga flat dipatok 9 persen. (Perbedaan bunga efektif dan bunga flat lihat boks.)

Investree, mengenakan bunga untuk peminjam di kisaran 12-20 persen per tahun, dan Amartha yang menentukan imbal hasil bagi peminjam yang mencapai 15 persen per tahun. Sementara itu, rata-rata bunga yang dikenakan kepada nasabah di Modalku berkisar 9 persen sampai 24 persen.

CEO Modalku Reynold Wijaya, seperti dikutip tirto.id, tidak menampik bunga pinjaman maksimal memang bisa mencapai 30 persen. Namun Reynold menyebutkan hal itu jarang terjadi. 

Sponsored Ad

Namun, selain mencermati bunga pinjaman, peminjam harus mempersiapkan “bunga” yang lain. Yakni ketika kita telat membayar cicilan karena satu dan lain hal. Ada biaya keterlambatan dengan besaran yang bervariasi.

KoinWorks misalnya, menetapkan biaya keterlambatan sebesar 6 persen. Biaya tersebut disesuaikan dengan jumlah hari keterlambatan. Namun mereka tidak kaku dengan hal itu. Jika alasan keterlambatan bisa mereka pahami, ada solusi khusus sehingga kemungkinan terhindar dari biaya keterlambatan.

Kemudian buat pengemplang, siap-siap saja keluar dana tambahan yang dikeluarkan oleh pihak pemberi pinjaman untuk mencari keberadaan kamu.

Di Koinworks ini diberi nama biaya penagihan, dan dikeluarkan manakala kredit pinjaman mengalami gagal bayar dan tidak ada kabar apapun atau tidak ada kejelasan mengenai pelunasan pinjaman. Biaya ini bisa bervariasi sehingga tidak bisa diperkirakan berapa besarannya.

2. Kebijakan privasi

Bunga hanya salah satu dari beberapa hal yang perlu diwaspadai di balik kemudahan meminjam di P2P lending ini. Hal lain yang patut diperhatikan adalah kebijakan privasi (privacy policy).

Jika tak cermat dalam memahami aturan bunga kita akan menderita materi, maka kalau tak detail mempelajari kebijakan privasi bisa saja tak hanya menderita materi tapi juga non-materi. Malu misalnya.

Kebijakan privasi ini justru perlu diwaspadai mengingat budaya literasi kita yang masih rendah. (Tingkat literasi Indonesia masih berada di peringkat paling bawah, dari tahun 2012 sampai 2015 hanya berada di urutan 62, 61, 63 dari 69 negara yang dievaluasi dengan kemampuan di bawah rata-rata.)

Banyak dari kita melewatkan begitu saja poin-poin kebijakan privasi. Padahal, ada hal-hal yang kemudian baru disadari ternyata tak sesuai dengan harapan kita. Bahkan di luar dugaan kita.

Seperti yang dialami oleh Mila Oktaviani berikut ini. Untuk sebuah keperluan ia meminjam di aplikasi daring bernama AngelCash sebesar Rp800 ribu. Karena ada keperluan mendadak, ia tidak bisa bayar.

“Mereka mulai menagih saya,” kata Mila sambil menjelaskan bahwa ia akan bayar dan menegaskan tidak akan kabur. Tak disangka-sangka, lima hari kemudian muncul pemberitahuan grup WhatsApp di ponsel Mila dengan nama HUTANG MILA.

Anggota yang ada di situ ternyata semua kontak yang ada di ponsel Mila! Pembuat grup itu orang yang menagih Mila, dan bilang di grup kalau Mila kabur dan tidak mau membayar. Padahal sebelumnya Mila sudah konfirmasi untuk minta waktu keringanan.

Kontan saja hal itu membuat Mila malu karena sampai dipanggil atasan. Ia lantas mengirim pesan pribadi ke pembuat grup bahwa ia akan membayar tagihan dan meminta agar grup dihapus.

Dua jam kemudian Mila membayar tapi tak ada tanda-tanda grup dihapus. Malah pembuat grup itu left. Dihubungi lewat telepon juga tak bersambut.

Kasus seperti itu tak hanya menimpa Mila saja. Seseorang yang berakun Bung Komeng di Kaskus curhat hal yang mirip. Ia meminjam sejumlah uang di TunaiKita. Kemudian mengalami keterlambatan pembayaran cicilan.

Bukan soal cicilan yang dibayarkan membengkak karena terkena denda keterlambatan, yang bikin keki karena ternyata nama-nama kontak yang ada di ponsel Bung Komeng dihubungi pihak TunaiKita. Intinya meminta tolong Bung Komeng untuk membayar tagihan yang telat.

Sponsored Ad

“Mengapa penagihan itu tidak ke nomor saya? Padahal ponsel saya aktif terus,” begitu keluhan Bung Komeng yang kemudian menduga tindakan itu untuk menjatuhkan harga dirinya.

Kasus lain yang ramai melibatkan RupiahPlus. Sama juga, konsumen merasa malu karena teman-teman di daftar kontak dihubungi. Ada yang lewat telepon, ada juga melalui pesan pendek.

Meredam kasus itu, RupiahPlus akhirnya meminta maaf secara resmi kepada masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam keterangan persnya, Direktur RupiahPlus, Bimo Adhiprabowo, menyatakan bahwa mereka bekerja sama dengan pihak ketiga berkaitan dengan penagihan tunggakan.

Dari kasus-kasus tadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa prinsip tak ada makan siang gratis selamanya benar. Di balik kemudahan pasti tersembunyi jebakan-jebakan yang menuntut kewaspadaan kita.

3. Apa saja yang “diambil”?

Salah satu “jebakan” adalah soal kebijakan privasi tadi. Ini memang dilematis. Namun jika tidak ada masalah selama masa kredit, kasus-kasus seperti yang dialami Mila tadi tak akan terjadi.

Dalam suatu kesempatan, Legal Coordinator Fintech Lending Division Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Chandra Kusuma menyatakan bahwa di industri teknologi finansial, ada akses data untuk tujuan verifikasi dan penagihan.

Jadi, ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini: verifikasi dan penagihan. Di sini dilemanya calon peminjam. Jika ia tak memberi akses, peluang dia memperoleh pinjaman menjadi kecil.

Ketika diberi akses dan terjadi masalah dalam pembayaran, ia tak bisa menghindar karena semua kontak di teleponnya sudah di tangan pemberi pinjaman.

Muncul pertanyaan iseng, bagaimana jika ponselnya “kosongan”? Dalam arti hanya ada aplikasi bawaan dan aplikasi tekfin? Tak ada daftar kontak di dalamnya? Tentu saja perusahaan tekfin tak segampang itu “dikadali”.

P2P lending merupakan bisnis dengan risiko yang amat besar bagi pemberi pinjaman. Jika “dikadali” seperti itu, ya gampang saja bagi mereka. Ditolak. Selain data kontak, ada banyak parameter yang dipakai untuk menilai calon peminjam layak atau tidak dari “jeroan” ponsel mereka.

Untuk memastikan calon peminjam adalah sosok yang nyata, perusahaan tekfin melihat riwayat panggilan calon pengguna. Nah, jika riwayat panggilan ini tidak ada, atau hanya sedikit, begitu juga dengan data kontak, perusahaan akan melihat ada niat buruk dari si calon peminjam.

Perusahaan tekfin melalui aplikasinya juga mengakses berbagai data lain dari ponsel penggunanya untuk verifikasi, penentuan skor kredit, hingga penagihan. Aplikasi KoinWorks misalnya, dapat mengidentifikasi akun yang terdaftar pada ponsel pengguna, baik di media sosial maupun e-commerce.

Aplikasi-aplikasi tekfin itu umumnya juga meminta akses data jaringan pengguna. Ini untuk melihat konsumsi pulsa dan kebiasaan belanja daring calon peminjam yang bisa dijadikan bahan analisis skor kredit.

Proses elektronik dengan data-data digital inilah yang membuat proses persetujuan kredit tekfin hanya memerlukan hitungan menit.

Sekarang tinggal calon peminjam yang menentukan apakah mau meminjam dengan segala konsekuensinya, atau membatalkan niatnya seperti teman saya tadi.


Sumber: Intisari

Kamu Mungkin Suka